Alunan melodi
indah menghiasi sudut
ruangan ini. Membawa
aku terhanyut dalam
emosi jiwa suara
mendayu-dayu saxophone dalam
lagu Kenny G.
Aku berkonsentrasi untuk
menjaga gerakanku tetap
seimbang. Jari-jari lentikku
berayun-ayun lembut mengikuti
irama lagu. Warna-warni
lighting menyorotku, kemanapun
aku pergi. Kaki-kakiku
yang lincah dibalut
sepatu ballet bewarna
pink muda, berjinjit-jinjit dan melompat-lompat kecil
selaras dengan detak
tempo. Aku menari,
bagaikan lekuk-lekuk indah angsa
putih mengepakkan sayapnya.
Aku berputar-putar dengan
satu kakiku, melambai-lambaikan tanganku,
melompat-lompat kecil, hingga
menghasilkan tarian ballet
yang spektakuler yang menyatu dengan
emosi lagu.
Aku membungkukkan
badan, tersenyum kepada
seluruh penonton, pertanda
telah berakhir pertunjukanku.
Plok. .plok . .plok
Sasha!
God job shasa! We
are proud of u!
Kini lighting
hanya tertuju padaku.
Suasana yang pertama
hening, berubah ricuh. Semua
orang di aula
sekolah bertepuk tangan,
memandangku dengan pancaran mata
yang bersinar-sinar. Aku
berdiri tegap di
tengah panggung, mengepakkan
kedua tanganku dengan
penuh keyakinan. Mengharukan
sekali, aku ingin menangis
karena bahagia. Respon penonton
yang sangat menggertakan
jiwaku. Pertunjukkan ini
benar-benar dahsyat.
Terlihat bangku
nomer dua dari
belakang seorang wanita
paruh baya tersenyum, matanya
berkaca-kaca memandangku. She is my lovely
mom. Wanita terhebat
didunia.
Mama langsung
menghampiriku di belakang
panggung, menyambarku dengan
pelukan hangatnya.
“
Mama bangga sekali denganmu
nak,” ucapnya sambil
menetaskan air mata.
“
Iyaa ma, Sasha berlatih
keras buat mama,”
kataku sambil tersenyum.
Teman-temanku memberi
ucapan selamat padaku.
“ Shasha,
hebat banget, gerakan
lo yang muter-muter
tadi amazing sha.
Lo pinter ballet
kagak bagi-bagi ilmu
sih,” kata Ica menghampiriku dan
memelukku dengan pelukan
ular pytonya.
“wa...duh ca, kalo lo
ntar ja..dinya malah
bukan ballet….ta…pi tari
ke…cak.” kataku tersendak-sendak karena nggak
bisa bernafas.
Habis
ganti pakaian normal,
aku duduk di
bangku penonton nomer
4 dari depan.
Aku duduk dengan
kelima temanku dan
mama di sebelahku.
Kali ini giliran
Steve yang tampil.
Cowok melankolis, misterius
yang jago main gitar akustik.
Kali ini dia
nyanyiin lagunya Jason Miraz
yang I’m yours.
“I won’t
hesitate no more, no more. It cannot wait, I’m
yours.
Well open
up your mind and see like me
Open up your plans and damn you’re free
Look into your heart and you’ll find love love love
Listen to the music of the moment people dance and sing, we’re just one big family
It’s our God –forsaken right to be loved loved loved.”
Open up your plans and damn you’re free
Look into your heart and you’ll find love love love
Listen to the music of the moment people dance and sing, we’re just one big family
It’s our God –forsaken right to be loved loved loved.”
Aku memandangnya
tak berkedip. Dandananya
simple, T-shirt putih, celana jins,
sepatu cats. Kulitnya
putih langsat, hidungnya
mancung, tinggi, pokoknya
kayak blesteran. Terlihat raut
wajah penghayatan yang
mendalam ketika dia
menyanyikan lagu itu. Terkadang dia
tersenyum menyapa seluruh
penonton. GOD! Senyumnya manis
banget. Giginya yang
rata diiringi dengan
lesung pipit di
samping bibirnya, membuat seluruh cewek
di aula kegirangan,
menjerit seperti kesurupan
pocong. Suaranya merdu
nggak kalah sama
penyanyi aslinya, empuk
banget di kuping,
ditambah lagi diiringi kepiawaianya memetik senar gitar.
“
Ehm…ehm, kemasukan lalat
ntar mulut lo. Mlongo
aja,” bentak Ica
mengagetkan lamunanku.
“
apaan sih lo! Lo juga
mlongo gitu, ngatain
gue,”
“
Ciee, ada yang suka
cowok ni yaa,”
goda mamaku
“
Haduh, mama ni
nggosip aja,”
“
Aduh, pake malu-malu
segala ni anak
mama” goda mamaku
sambil menyenggol-nyenggol pinggangku.
Boro-boro naksir,
kenal tu cowok
aja enggak.
Pulang nonton
pensi, aku pulang menggunakan
sepeda keranjangku. Mama
pulang duluan dengan
mobilnya. Semenjak kepergian papa
karena sakit jantung,
mama jadi super
sibuk untuk menafkai aku
dan adik perempuanku
yang sekarang masih SD kelas 3.
Bersyukur banget, hari ini
mama nyempet-nyempetin
ngluangin waktu kerjanya buat
nonton aku.
Aku
suka sekali bersepeda,
mengarungi jalan, menikmati indahnya
pemandangan sambil meracau-racau. Sebenernya sih
lagi nyanyi Against
all odds-nya Mariah
Carey. Tapi sadar
kalo oktafku nggak
bakalan nyampek. Malah jadinya
kayak suara kaleng
Fanta yang udah
penyok diinjek-injek lagi.
Untungnya nggak pernah
ada kejadian burung
mati gara-gara aku
nyanyi.
Tiba-tiba, sebuah
mobil hitam undivide
mengagetkanku. Klaksonya memekakkan
gendang telinga., bagaikan suara
petir menyambar bumi. Mataku terbelalak, jantungku berdegup sangat
kencang, kemudian aku
hanya mampu menjerit
ketika benda besar
hitam itu mendekatiku,
dekat…..dekat,…..dan semakin dekat.
ARRRGHHHH!!! Cittttt.. . .
.bbraakkkkkkkkk!!!!!!!!!!!! Menghantam tubuhku
begitu kerasnya.
Gelap, aku
tak ingat kejadian
setelah itu. Aku
hanya mampu bernafas
tanpa sedikitpun bergerak.
Aku hanya tertidur,
berbaring di kasur putih
rumah sakit. Aku
koma.
5
hari
kemudian, syukurlah, aku
diberi karunia, memiliki
kuasa untuk menggerakkan
otot-otot mataku lagi. Mama
adalah orang pertama yang
aku lihat ketika
aku membuka mata. Dia
menangis melihatku. Semua
saudaraku hadir di
sampingku, Aku masih
heran dengan kondisiku
saat ini. Kiki
adikku, langsung berlari menghampiriku.
“ Ma,
kak Cacha bangun tuh,
lihat matanya melek. Kakak,
ayo main. Kiki
sendiri. Kiki sedih kalo nggak
ada kak Cacha,” Kata
adikku sambil meloncat-loncat kegirangan.
Aku tersenyum,
dengan sangat susah
aku berusaha mengangkat
tanganku untuk menggenggam
tangan mungil Kiki. Aku
tersenyum padanya, ingin
rasanya tertawa melihat
tingkah kocaknya. Tapi
aku tak kuasa
untuk tertawa.
Beberapa
menit
kemudian, aku merasa ada
yang mengganjal dengan
tubuhku. Aneh ketika
aku berusaha bergerak,
tapi aku merasakan
mati rasa. Dengan
seluruh kemampuan aku
berusaha duduk, melepas
selimutku, dan mencari
tahu apa itu.
Aku terheran ketika
kaki kananku dibalut
beribu perban bagaikan
mumi.
Aku menunduk,
aku tak sanggup
membuka mata, nafasku serasa
terhenti, rintik-rintik butiran
air mataku keluar,
setelah aku sadari,
AKU KEHILANGAN SEPARO
KAKI KANANKU!
SHOCK!!! Semua
orang menatapku, tangisan
mereka semakin menjadi-jadi.
Mamaku mendekapku, tangisanya
semakin tak terkendalikan.
“
Nak, ini
udah jalan Tuhan.
Ini yang terbaik.
Mama yang salah, mama
nggak bisa jagain
kamu. Kenapa Tuhan
nggak ambil aja
kaki mama yang udah
tua ini. Kenapa harus
kamu sayang,” Mamaku
memelukku erat.
Aku hanya
menunduk, hatiku hancur
tak ditemukan pecahanya.
Sakiit sekali, bahkan
sakitnya mengalahkan bekas
operasi dalam tubuhku. Tuhan, kenapa tak Kau ambil
saja nyawaku? Lebih
baik aku mati,
daripada harus hidup
dengan satu kaki.
Tak
ada aktivitas lain
selain menangis. Sodaraku, mama, bahkan dek
Kiki yang nggak
tau apa-apa jadi
ikutan nangis. Aku memaksa untuk
tegar, tapi air
mataku terus mengalir,
sesak dadaku ketika
aku berusaha untuk
menahanya. Ragaku tak mampu
menahan kepedihan batinku
ini.
Berat, untuk
menerima kenyataan. Sungguh
pahit. Aku yang
lincah, nggak suka
duduk, harus hidup
dengan satu kakiku. Yang
terberat ketika aku nggak bisa lagi menari
ballet. Sesuatu dimana
aku dapat menemukan
siapa aku sebenarnya, tapi
sekarang mustahil untuk
bisa kutemukan. Saat aku
menarilah, aku merasa
istimewa. Saat aku
menarilah, aku melayang
tak terlukiskan. Saat
menarilah, aku mendapatkan
kepuasaan batin, dan
saat aku menarilah,
everyone is looking at me. That was
the reason, why
I felt so fragile. Semuanya tinggalah
kenangan.
Keesokan harinya
mentari tersenyum cerah,
sinarnya menembus sela-sela tirai kamarku. Aku
terbangun. Mamaku datang dengan
senyumnya, membawakan aku sarapan pagi.
“
Pagi honey, makan
dulu sayang,” sapa
lembut mamaku.
Beberapa jam
kemudian Ica dan
temen-temenku lainya datang
menjengukku. What ? dibalik
gerombolan masa itu
ada sesosok cowok
yang wajahnya aku kenal
banget. Oh my God Steve
kesini! Aku bingung
harus berbuat apa,
tapi aku sadar
kalo aku emang
nggak bisa berbuat
apa-apa.
“
Gimana keadaanmu sekarang?,”
Tanya Steve mendekat
padaku.
“
Baik kok,” jawabku
tersenyum padanya. Terpaku aku
akan pancaran indah
matanya. Menatapku begitu
tajam. Aku nggak
pernah melihatnya sedekat
ini. Aku merasa sembuh
disampingnya, melupakan sejenak
apa yang terjadi
pada kakiku. Ya
Tuhan, kekuatan apa ini??????
“
Sabar ya, aku
turut sedih atas kakimu. Tapi
kamu harus tetep
semangat. Karena kami
semua disini selalu
ada buat kamu,” Katanya
bijak dan masih
menatapku dengan pandangan
yang sama.
“
Makasih ya Steve.
Makasih semua,”
Aku tersenyum
palsu. Aku Sasha,
cewek yang dulu
ceria, tapi sekarang
sangatlah rapuh.
“ Aku sering
merhatiin kamu waktu nari Ballet,
aku kemarin kaget
waktu denger kamu
kecelakaan,”
“ Oh
ya? Merhatiin aku?
He.he.. lagu kamu kemarin bagus
banget Steve, aku
suka,”
“ Kalo kamu
mau, aku bisa nyanyiin
lagu itu tiap
hari buat kamu,”
Aku tak
menjawab pertanyaanya. Kami
saling berpandangan lama
sekali. Seakan dia
telah mengunci mataku
untuk tak berpaling.
Rasanya seperti di
ruang itu hanya
ada aku dan
Steve.
1 tahun
kemudian, aku mulai terbiasa
dengan kaki kiriku.
Aku tertawa, aku
bertahan, karena temen-temenku selalu
disampingku. Walaupun terkadang,
aku ingin sekali
berlari, bermain basket, volley. Tapi
aku sadar, itu
hanyalah mimpi yang
terlalu indah untuk
bisa kugapai. Trauma mendalam seumur
hidupku.
Tapi tak
ada waktu lagi
untuk meratapi masa
terpuruk. Kini aku
mengalihkan bakatku dengan
menulis. Saatnya menyobek
catatan masa lalu.
Ini hidupku sekarang.
Tak ada yang
disalahkan akan hidupku
sekarang. Hidup sekali,
tak ada waktu
untuk melamun meratapi
keterpurukan. Berusaha bangkit,
membuat semua orang
disampingku bahagia walaupun
aku cacat.
Cause yesterday
is a history,
tomorrow is a
mystery, and today is a
gift.
Sesosok lelaki
tampan dilorong, berjalan
menghampiriku. Menyapaku
dengan senyuman manisnya.
“
Aku antar pulang
ya Sha ?”
“
Oke Steve,”
And this
is my gift.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar